Halaman

Waktu menunjukkan

Pencarian

Rabu, 16 Januari 2013

Makam, Sejarah Kota yang Jarang Diperhatikan

Menjelang tutup tahun 2012, saya sempat mengantarkan pakdhe saya pindah rumah, dari kampung Jaranan ke Giri Loyo. Ya, pakdhe saya baru saja menempuh kehidupan baru, jadinya beliau harus pindah rumah, terpisah dari keluarga yang di Jaranan sekarang. Di kompleks rumah pakdhe saya yang baru, suasananya serba kelam, sepi dan tidak tampak tanda kehidupan, kecuali mereka yang bertugas membersihkan kompleks itu.

Oke, cukup sudah basa-basi saya. Kalau ada yang belum bisa mencerna kata-kata saya yang mbulet di atas, maksudnya saya habis mengantar jenazah pakdhe saya ke TPU Giri Loyo. Ini adalah kunjungan saya ke kompleks makam ini setelah sekian lama tidak ke sini. Suasananya bisa dibilang sepi, atau bahkan wingit dengan keberadaan pohon beringin besar di tengah-tengah area makam.

Tidak penghuni yang saya kenal di sini. Hanya beberapa keluarga dari pihak ibu, yang sudah pindahan ke blok Kristen di kompleks ini, dua di antaranya eks penghuni Kerkhoff Magersari. Selain itu penghuni yang di kehidupan lamanya seorang pesohor, Suzanna Martha Frederika van Osch juga dimakamkan di blok yang sama.

Ada banyak perbedaan ketika saya mengunjungi makam Giri Loyo. Makam massal eks Kerkhoff sudah berganti penghuni. Jajaran nisan salib sudah tidak tampak di bagian depan kompleks blok Kristen. Entah, pindah ke mana mereka, atau 'dipaksa' berdampingan dengan penghuni baru. Maklum, penanda penghuni lama hanyalah salib bernomor tapi tanpa nama. Entah siapa yang berada enam kaki di bawah salib itu.

Meski demikian, aku masih merasa beruntung. Aku masih sempat menikmati kemegahan Kerkhoff Magersari, setidaknya hingga tahun 1994. Mbah dan pakdhe saya salah dua dari mereka yang boyongan dari Kerkhoff di gelombang terakhir. Sayangnya, kenangan itu hanya ada dalam ingatan saya, berhubung jaman segitu saya masih piyik, belum bisa pepotoan kaya jaman sekarang.

Mbah dan pakdhe saya menempati blok Kristen juga, dengan suasana tidak berbeda jauh dengan di blok Kristen Giri Loyo. Jajaran makam batu yang tersusun rapi dengan berbagai bentuk. Suasana berbeda tampak di blok yang dihuni bangsa Belanda. Makam mereka ditandai dengan batu kubur, obelisk, patung malaikat dan berbagai bentuk lainnya. Atmosfernya seperti kalau kita berkunjung ke Museum Taman Prasasti.

Sekarang, kompleks Kerkhoff sudah hampir tanpa jejak, kecuali gerbang Kerkhoff dan kompleks Pa van der Steur. Satu kehilangan besar bagi Magelang tentunya. Kita kehilangan jejak, siapa-siapa mereka yang turut membangun kota ini. Dan juga ruang terbuka di kota ini.

Mungkin kita berpikir, ah cuma makam aja dipikirin sampe segitunya. Ya, suka tidak suka, makam merupakan bagian dari sejarah suatu kota. Sayangnya, banyak yang menganggap makam hanyalah kumpulan tulang yang terpendam dan tidak memiliki arti apa-apa. Padahal anggapan itu salah besar. Kita bisa belajar banyak dari makam. Sebuah batu nisan, dapat bicara banyak tentang apa, siapa dan mengapa mereka pernah hidup di sana. Sejarah perkembangan suatu kota pun dapat diketahui dengan berkunjung ke makam yang ada.

Pendapat saya, tindakan Pemkot Magelang di masa lalu yang mengorbankan Kerkhoff demi perkembangan kota, ini perilaku yang ngawur dan tidak dipikirkan akibatnya di masa depan. Seolah cerita sejarah Magelang ada missing link, antara masa sekarang dan masa lalu. Meskipun mereka tidak dapat bercerita, tapi mereka punya cerita yang sebenarnya dapat kita gali. Sekarang, tinggal penyesalan yang ada atas kehilangan cerita masa lalu. Suka tidak suka, mereka tetap bagian dari Magelang masa lalu, masa kini dan masa mendatang.

Semoga saja cerita sedih Magelang ini tidak dialami kota-kota lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar