Halaman

Waktu menunjukkan

Pencarian

Kamis, 29 Januari 2009

Satu Aja Susah, Apalagi Seratus .....

Pas melihat panasnya jagad perpolitikan menjelang kegiatan mencontreng massal 9 April 2009, seorang teman mengirim sebuah joke berbau politik. Sebenernya sih joke lama, tapi lumayan buat ketawa, sedikit mengurangi panasnya jagad perpolitikan negeri ini yang makin kacrut. Berikut kutipan emailnya

-----
Ceritanya, di awal tahun 2001, seorang praktisi teknologi, sebut saja namanya Cahyo, menawarkan bantuannya untuk memasang akses internet di istana negara. Om Cahyo mengklaim bahwa akses internet yang ia tawarkan memiliki kecepatan 100 Mbps. Tanpa membuang waktu lama, Om Cahyo memasukkan proposalnya ke setneg.

Setelah melewati berbagai tahapan seleksi dan birokrasi, sampailah proposal itu ke tangan Presiden. Tidak lama kemudian, Om Cahyo dipanggil langsung oleh Presiden, untuk audiensi mengenai penawaran bantuan tersebut. Hal ini dipandang perlu, mengingat Om Cahyo banyak menggunakan istilah-istilah teknis, yang mana Presiden sama sekali nggak ngerti.

Ketika membahas kecepatan akses 100 Mbps, Presiden bertanya kepada praktisi teknologi kita ini, "Pak Cahyo, apa maksudnya 100 Mbps ini?"

Jawab Om Cahyo dengan bangga, "Itu kecepatan akses Pak Presiden, artinya 100 Mega per detik, paling hebat untuk saat ini."

Bukannya senang dengan jawaban Om Cahyo, Presiden tampak kecewa sambil menahan marah. Katanya, "Anda mau membunuh saya apa dengan kecepatan seperti itu??? Satu Mega saja sudah bikin saya pusing, malah Anda mau kasih saya 100, sedetik lagi!!!!"

Disclaimer:
Kisah ini hanyalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan peristiwa, tokoh ataupun cerita, hanyalah kebetulan semata yang tidak disengaja. Mohon maaf apabila ada pihak yang tidak berkenan, cerita ini hanya untuk keperluan hiburan semata. Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang ....
-----

Asli, yang bikin kreatif juga. Bikin ngakak di tengah suasana politik yang nggak jelas, di mana yang satu nuduh yang lain mainan yoyo, dibalas mainan gangsingan. Di waktu lain, menari poco-poco, dilawan sama tarian lain, lupa namanya.

Pokoknya jangan tersinggung, jangan marah, hadapi semua dengan senyuman (ini tagline sekar :P) ....

Rabu, 21 Januari 2009

Kepancal Sepur

Menjelang libur Natal 2008 silam, sambil menunggu keberangkatan KA 78 Ekspres Malam Lodaya, aku bersama Dimas, Mave a.k.a. Dodo dan Fasta ngobrol di peron 4-5 stasiun Bandung.

Tepat jam 1900, KA 38 Eksekutif Turangga diberangkatkan dari sepur 1. Saat KA 38 sudah mulai berjalan, dari arah hall utara, beberapa orang berlari ke arah jalur 1 berusaha mengejar KA 38. Usaha yang sia-sia, bukannya berhenti kembali, tapi KA 38 malah terus berusaha menambah kecepatan. Kita berempat cuma bisa melihat mereka yang sedih campur kecewa karena kepancal sepur. Bisa jadi, acara liburan yang telah mereka rencanakan hancur begitu saja.

Kejadian semacam ini sih pernah juga aku alami, sekembali dari acara Napak Tilas Jakarta Kota-Tanjung Priok bersama Ario. Kita berdua ketinggalan KA 62 Ekspres Parahyangan karena KRL ekonomi Bekasi tertahan lama di Kemayoran. Akhirnya kita balik ke Bandung naik kereta berikutnya, KA 64F.

Memang, di setiap stasiun pemberangkatan telah dipampang jadwal keberangkatan kereta. KA nomor sekian relasi ABC-XYZ berangkat jam sekian. Soal kereta berangkat terlambat karena force majure itu masalah lain. Seharusnya kita bisa mengantisipasi bagaimana caranya agar tidak ketinggalan kereta. Katakanlah dengan datang ke stasiun sekurang-kurangnya 30 menit sebelum kereta diberangkatkan.

Melihat seseorang yang kepancal sepur membuatku terpikirkan dengan sesuatu. Dengan sesuatu yang telah dijadwalkan pun seseorang bisa menganggap remeh, toh masih ada kereta berikutnya. Tapi apa yang akan kita lakukan apabila kereta itu dijadwalkan melayani hanya sekali perjalanan dalam sehari? Mungkin kita menunggu kereta tersebut sampai hari berikutnya. Atau melanjutkan secara estafet, bila memungkinkan, meski konsekuensinya menghabiskan banyak energi dan waktu.

Mirip dengan jadwal keberangkatan kereta api, dalam hidup kita ada satu kereta yang hanya berangkat satu kali saja. Kereta ini mengantarkan kita pada keabadian. Hanya saja, kita tidak pernah tahu, kapan kereta ini akan diberangkatkan. Boleh dibilang keberangkatan kereta ini seperti pencuri di waktu malam, kita tidak akan tahu kapan dia datang. Dan kita telah diperintahkan untuk bersiap-siap, jika kereta ini sewaktu-waktu diberangkatkan di saat yang tidak pernah kita duga. Sekali kita ketinggalan kereta ini, hanya penyesalan tiada akhir yang kita dapatkan, karena tidak akan ada jadwal kereta berikutnya.

Sudahkah kita mempersiapkan diri untuk perjalanan kereta yang menuju keabadian ini?

Makasih May buat sharingnya ....

Kamis, 15 Januari 2009

Ekstasi Palsu

Selepas jam kantor, seperti biasa ngobrol santai nggak jelas bin santai sambil nonton tv sama si bos. Berhubung jam setengah 6 acara yang paling masuk akal cuma berita, mau nggak mau berita dari berbagai stasiun yang ditonton.

Pas ada berita pengungkapan sindikat pemalsu dan pengedar ekstasi, tiba-tiba aja si bos komentar, "kalau sindikat pemalsu kaya gitu, dijerat pakai pasal apa ya?"

Seorang teman menjawab, "Jelas pake UU Narkotik dan Psikotropika dong pak .... Kan udah jelas-jelas ketahuan mengedarkan barang-barang golongan psikotropika"

Si bos gak mau kalah, "Itu bisa, kalau yang diedarkan memang barang psikotropika. Dia kan nggak mengedarkan ekstasi beneran. Dia kan cuma bikin ekstasi palsu, terus dia jual ke pengguna. Korbannya ya, yang kena tipu itu .... Harusnya sih kena pasal pemalsuan dan penipuan"

Hmm ... si bos kocak juga ini sore. Lumayan buat meredakan ketegangan habis seharian berkutat dengan angka2 yang nggak jelas, macam-macam kekacauan di ruangan, dan masalah yang nggak ada habisnya.

Yang masih jadi ganjalan, korban penipuan sindikat pemalsu ekstasi ini berani lapor polisi nggak, kalo dia pernah ditipu sama ini sindikat. Pengen beli ekstasi, tapi dikasih ekstasi palsu dari tepung .... Atau jangan-jangan sindikat ini terbongkar karena ada laporan dari korban ... bisa jadi

Rabu, 07 Januari 2009

Laporan Langsung Konflik Timur Tengah

Menjelang bubaran kantor, tadi pada nonton reportase langsung konflik Israel di salah satu stasiun televisi nasional. Ternyata itu siaran relay langsung dari Aljazeera. Dan kabarnya, itu tayangan langsung, bukan recorded.

Tiba-tiba teringat film "Live from Baghdad" Liputan CNN dari Baghdad di awal serangan pasukan koalisi ke Irak di era Perang Teluk 1991, melambungkan nama Peter Arnett sebagai wartawan perang. Konon, itu untuk pertama kalinya dilakukan liputan langsung dari belakang garis depan. Gak heran kalo ada yang bilang, Peter Arnett dan CNN membawa suasana medan perang ke rumah.

Hanya ada beberapa yang membedakan dengan liputan CNN. Liputan Aljazeera dilakukan di seputaran Gaza Strip yang dilakukan pada siang hari serta pihak yang bertikai berbeda pula.

Yah ... terlepas dari perang siapa lawan siapa dan rebutan apa, tetep aja yang jadi korban rakyat tak bersalah .....