Halaman

Waktu menunjukkan

Pencarian

Senin, 13 April 2009

Hitung-hitungan Setelah Pemilu

Setelah kemaren iseng-iseng bikin hitungan menjelang pemilu, kali ini giliran berhitung setelah pemilu.

Sebenernya sih bahannya didapat dari hasil obrolan ibu-ibu pas sarapan di soto Pak Trimo. Soal tingkat akurasi informasinya mungkin bukan kelas A1, tapi bisa jadi perenungan.

Ceritanya, Joko mencalonkan diri menjadi anggota legislatif dari suatu partai tertentu. Untuk mencapai tujuannya, Joko telah menghabiskan dana sekitar 200 juta rupiah. Dengan tidak bermaksud merendahkan, menurut info yang ada, boleh dibilang si caleg tersebut bermodal cekak, lha (katanya) rumah aja masih ngontrak. Dan menurut aturan main pemilu, sekarang tidak ada caleg jaminan jadi. Yang ada, banyak kemungkinan gagalnya dibanding jadi.

Semoga cerita ibu-ibu tadi cuma omong kosong aja. Tapi kalau cerita ibu-ibu itu beneran, betapa kacaunya. Coba dihitung, untuk mengeluarkan modal sebanyak ratusan juta, caleg dapat menggunakan berbagai sumber. Entah itu mengambil dari tabungan, atau mencari dari sumber lain. Kalau menguras tabungannya sendiri sih sebodo amat, lha duit punya dia sendiri. Tapi kalau mengandalkan dana dari pihak ketiga, katakanlah pinjaman, apa yang bisa dijaminkan? Lha rumah aja masih ngontrak. Kalau sumbangan, pasti si penyumbang mengharap balas jasa. Mana ada jaman sekarang yang mau kasih gratisan. Kalau si caleg terpilih kelak, mungkin bisa memberikan balas jasa, kalau nggak, entah apa yang bakal terjadi.

Kelar urusan sumber dana, begitu si caleg terpilih, dan duduk menjadi anggota dewan, tentunya bakal terima penghasilan yang lumayan. Nggak heran kalau anggota dewan berusaha mengembalikan modal yang telah dikucurkan, sukur-sukur bisa mendapat lebih. Yah, kalaupun meleset, semoga nggak jauh jauh amat, itung-itung pengabdian. Lagian selama 5 tahun menjadi anggota dewan, sudah menikmati berbagai fasilitas yang ada. Belum lagi masa purna tugas, kali aja dapat pensiun, dan bisa jadi kontestan pemilu buat periode berikutnya.

Tadi kabar baiknya kalau terpilih. Kalau yang terjadi sebaliknya, ya bisa diperkirakan si mantan caleg bakal jatuh miskin. Lha caleg yang bermodal kuat aja bisa habis, apalagi sebelumnya sudah minim. Apalagi menurut kabar yang beredar, si Joko kondisi keuangannya tipis. Bisa jadi bangkrut dan dikejar-kejar debt collector. Kalau nggak kuat mental, bisa gila, atau malah bunuh diri.

Bener juga apa kata orang-orang pinter, jadi caleg adalah cara instan untuk mobilitas sosial vertikal. Kalau jadi, bisa naik strata. Tapi kalau gagal, dijamin terjun bebas. Dari yang semula orang terpandang, langsung jadi bahan cibiran tetangga.

Yah ... semoga aja cerita ibu-ibu tadi cuma gosip murahan aja. Semoga caleg yang kemaren rebutan kursi udah siap lahir batin sebelum bertarung. Selamat bagi yang (nantinya) duduk jadi wakil rakyat, semoga bener-bener jadi wakil rakyat, bukan wakil partai atau golongan. Bagi yang gagal, jangan berkecil hati. Berjuang bagi rakyat tidak hanya melalui parlemen aja, tapi melalui tindakan nyata buat lingkungannya.

salam damai ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar