Kembali Kota Toea Magelang hajatan. Kali ini acaranya menelusuri jejak jalur mati Magelang Kota - Secang - Temanggung - Parakan yang dikemas dengan nama "Djeladjah Djaloer Spoor". Kegiatan yang diikuti oleh sekitar duapuluh orang ini dilaksanakan tanggal 22 Januari 2012. Bagi mereka yang tidak dapat mengikuti acara ini karena sesuatu dan lain hal, berikut ini disajikan cerita ringkas dan beberapa informasi yang tidak terdapat di dalam booklet Djeladjah Djalur Spoor yang diterbitkan secara terbatas.
Stasiun Magelang Kota, pukul 0700
Waktu rendez-vous yang ditentukan oleh Gubernur Kota Toea, Bagus Priyana a.k.a. Agung Dragon VOC (sesuai dengan plat nama yang dikenakannya). Acara dimulai dengan daftar ulang dan menyelesaikan segala persoalan administrasi yang dilanjutkan dengan perkenalan peserta. Bapak Gubernur Kota Toea kemudian menyampaikan tentang apa dan siapa sebenarnya Kota Toea Magelang, serta menyampaikan rencana perjalanan Djeladjah Djaloer Spoor yang akan ditempuh.
Dari Stasiun Magelang Kota, penjelajahan dimulai. Berdasarkan surat keputusan Direktur Djenderal Kereta Api nomor 20493/BB/54 tanggal 16 Maret 1954, setasiun ini tergolong setasiun kelas II. Dahulu, semasa masih aktif, setasiun ini melayani perjalanan kereta cepat Jogjakarta - Magelang dengan keberangkatan setiap jam, di mana keberangkatan pertama dari Jogjakarta pukul 0430 dan keberangkatan terakhir pukul 1730 dari Jogjakarta. Selain itu, dari setasiun ini pernah melayani pengangkutan kendaraan militer yang dinaikkan ke atas gerbong datar.
Setasiun Magelang ini memiliki dua jalur untuk naik turun penumpang, dan dilengkapi dengan overkapping. Untuk bongkar muat barang, tersedia 1 jalur tersendiri dengan ujung sepur badug di jalur 3. Sepur simpan yang mengarah ke timur laut tersedia sebanyak 3 jalur. Selain itu, Setasiun Magelang Kota juga memiliki sub dipo dengan dua los. Sub dipo ini sampai sekarang masih dapat dijumpai, dan berubah menjadi bengkel las.
Sebelum melanjutkan penjelajahan ke perhentian berikutnya di setasiun Secang, seluruh peserta tidak lupa melakukan ritual wajib, yaitu foto keluarga "Kota Toea Magelang".
Foto Keluarga courtesy Hamid Anwar |
Setasiun Secang, pukul 0900
Sesampai perhentian pertama, seluruh peserta langsung berkumpul di ruang tunggu setasiun. Di sana masih dijumpai bangku panjang yang dahulu dipakai calon penumpang menunggu kedatangan dan keberangkatan kereta api.
Sekarang, emplasemen setasiun ini rusak parah, karena dipakai sebagai tempat parkir truk. Sedangkan bangunannya sendiri sekarang dipakai menjadi kantor Pepabri Kecamatan Secang. Perkiraan kami, setasiun ini memiliki 3 jalur buntu, 1 sepur raya, dan 2 sepur yang digunakan untuk bongkar muat. Jalur bongkar muat ini juga menyisakan sebuah gudang tua yang masih berdiri.
Beberapa hal yang masih menjadi pertanyaan besar, mungkinkah setasiun ini melayani angkutan pupuk PT Pusri, karena di sisi selatan setasiun, terdapat gudang PT Pusri dan letak salah satu gudangnya berimpit dengan sepur 1 setasiun Secang. Pertanyaan lain, menurut kabar, setasiun ini dilengkapi turntable, tapi sampai sekarang penelusuran turntable ini ini belum membuahkan hasil.
Sempat terjadi insiden kecil, yaitu keresahan warga yang menduga kami akan menghidupkan kembali jalur ini. Hal ini sesuatu yang wajar, mengingat warga menempati tanah milik pihak lain. Seandainya benar-benar dihidupkan, mau tak mau, suka tidak suka mereka harus hengkang dari tempat yang selama ini mereka diami.
Foto Keluarga di depan Setasiun Secang courtesy Yudha Karyadi Dahlan |
Setasiun Kranggan, pukul 0950
Papan Nama Setasiun Kranggan courtesy Ryan Adhyatma |
Pada tahun 1947, pernah terjadi Peristiwa Luarbiasa Hebat di setasiun ini. Sebanyak 3 kereta CR mengalami larat dari arah Parakan. Meski rem telah diikat oleh pelayan rem, laju kereta tidak terkendali. Satu kereta terguling di setasiun Guntur, dan sisanya terguling di setasiun Kranggan dengan korban tewas sebelas jiwa. Pasca PLH, bangunan setasiun digeser ke posisi sekarang, sebagaimana yang dituturkan oleh Mbah Karim.
Mbah Karim juga menuturkan pengalamannya ketika mengawal dresin di jaman Jepang. Beliau menemukan granat yang ditanam di rel selepas setasiun Nguwet. Oleh Jepang, beliau dituduh sebagai mata-mata yang akan melakukan sabotase terhadap jalur kereta api. Berkat dokumen identitas selaku pegawai kereta api yang dibawanya, beliau selamat dari tuduhan tersebut.
Mbah Karim bersama Pak Gubernur Kota Toea Magelang Courtesy Ryan Adhyatma |
Jembatan Sungai Progo, Pukul 1040
Bangunan hikmat di atas sungai Progo di sisi seberang kanan adalah pasar hewan courtesy Ryan Adhyatma |
Viaduct Bulu, pukul 1125
Apabila menempuh perjalanan Temanggung - Parakan lewat Bulu, menjelang pertigaan Bulu terdapat sebuah viaduct yang membentang di atas jalan. Saat ini sudah tidak tampak bekas-bekas jalur kereta api yang melintasi viaduct ini. Hanya logo lama PT Kereta Api yang menunjukkan identitas pemiliknya. Timbunan tanah yang menjadi dasar baan sudah diratakan untuk pemukiman.
Ketika kami mengunjungi viaduct ini, tampak bekas hantaman kendaraan dari arah Temanggung. Bekas hantaman ini terlihat masih baru. Pilar viaduct hanya sedikit remuk, dan pecahan kaca mobil terserak di sekitarnya.
Viaduct Bulu Courtesy Ryan Adhyatma |
Setasiun Parakan, pukul 1148
Foto Keluarga di depan setasiun Parakan courtesy Ryan Adhyatma |
Emplasemen dari setasiun kelas IIIc ini sudah tidak menyisakan bentuk aslinya. Jalur rel yang semula ada di belakang bangunan setasiun sudah berubah menjadi bangunan. Kompleks setasiun yang luas ini hanya menyisakan bangunan setasiun, toilet setasiun dan beberapa gudang saja. Menurut penuturan warga sekitar, dulu di ujung jalur ada sub dipo dan turntable, tapi sekarang sudah tidak berjejak lagi. Saya sendiri juga belum yakin atas informasi tersebut, terlebih lagi data yang ada sangatlah kurang.
Setasiun Kedu, pukul 1224
Perhentian berikut adalah setasiun Kedu. Setasiun kini kini dipakai sebagai Gedung Pepabri Kecamatan Kedu.
Apabila dari jalan raya Temanggung - Kedu - Parakan, tidak akan terlihat, kalau bangunan ini dulunya adalah setasiun kereta api. Tetapi kalau kita masuk ke emplasemennya, masih terlihat handel sinyal masuk dari arah Parakan maupun Temanggung. Handel ini kondisinya relatif bagus, meski rantai penggeraknya sudah tidak ada lagi.
Selepas beristirahat, rombongan menuju setasiun Temanggung. Sepintas, bangunan setasiun ini mirip dengan setasiun Parakan. Setasiun yang semasa aktifnya digolongkan ke setasiun kelas IV ini, sekarang dipakai sebagai Gedung Juang '45.
Di sisi depan bangunan setasiun ditambahkan bangunan baru, yang secara tidak langsung telah mengubah wajah setasiun menjadi agak aneh. Begitu juga beberapa perombakan fisik gedung ini, seperti ornamen batu dan penggantian jendela, menyebabkan setasiun ini kehilangan rohnya. Jalur menuju Parakan telah dijadikan jalan raya, sedangkan jalur menuju Secang telah menjadi pemukiman.
Buffer sepur badug setasiun Payaman courtesy Ryan Adhyatma |
Setasiun ini memiliki dua sepur yang digunakan untuk lintasan dan satu sepur badug. Buffer di ujung sepur badug ini masih ada, meski relnya sudah terkubur tanah. Di sisi utara setasiun ini masih terdapat dua buah wesel yang menuju ke sepur dua dan sepur badug.
Tepat puku 1452 penjelajahan ini dinyatakan selesai. Kekhawatiran acara ini terhalang hujan sirna sudah. Sampai akhir acara, cuaca cerah berawan. Tiada halangan berarti, hanya satu sepeda motor gugur di jalan karena ban bocor. Selebihnya, peserta dapat mengikuti acara ini sampai dengan selesai. Semoga acara penjelajahan ini dapat diselenggarakan kembali, dengan peserta yang lebih banyak dan penjelajahan yang lebih seru tentunya.
Jos mas reportasenya dilengkapi bahasa2 perkeretaapian :)
BalasHapusmakasih mas ... PRnya telat numpuk, kalah sama kegiatan macul sawah soalnya ......
Hapus